Bisnis Multi-Level Marketing (MLM) telah lama menjadi fenomena di Indonesia, seringkali diposisikan sebagai “jalan pintas” menuju kemandirian finansial dan janji kekayaan. Dengan modal awal yang relatif kecil, fleksibilitas waktu, serta iming-iming bonus jaringan yang besar, model bisnis ini memang sangat menarik, terutama bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah yang haus akan peluang pendapatan tambahan atau alternatif pekerjaan. Namun, di balik janji manis tersebut, terdapat dilema yang kompleks dan dampak ekonomi yang berpotensi merugikan.

Sisi Positif: Peluang dan Inklusivitas Ekonomi
Bagi sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah, MLM menawarkan akses yang sulit didapatkan di sektor formal.
- Modal Kecil dan Aksesibilitas Tinggi: Banyak perusahaan MLM yang legal didesain agar dapat dimulai tanpa investasi besar. Hal ini memungkinkan ibu rumah tangga, mahasiswa, atau pekerja paruh waktu untuk berwirausaha mandiri tanpa harus terbebani biaya sewa tempat atau produksi.
- Pemberdayaan dan Pelatihan: Perusahaan MLM sering menyediakan pelatihan dan mentoring tentang penjualan, public speaking, dan pengembangan diri. Bagimasyarakat menengah ke bawah, ini merupakan akses gratis ke keterampilan yang mahal dan sulit diperoleh di luar.
- Penghasilan Tambahan: Pada tingkat dasar, kegiatan MLM — menjual produk secara langsung — memang memberikan komisi penjualan yang dapat menambah pendapatan harian atau bulanan keluarga. Dalam konteks ekonomi sulit, pendapatan ekstra ini bisa sangat membantu menopang kebutuhan pokok.
Bahkan, data dari Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) menunjukkan bahwa industri ini melibatkan jutaan mitra usaha dan berkontribusi signifikan pada ekonomi nasional, menunjukkan skala inklusifnya yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Sisi Negatif: Risiko Finansial dan Skema Jaringan
Meskipun MLM menawarkan peluang, risiko yang dihadapi oleh keluarga menengah ke bawah seringkali jauh lebih besar dan fatal dibandingkan dengan manfaatnya. Inilah sisi gelap yang membentuk opini publik negatif terhadap bisnis ini.
- Jebakan Modal Awal dan Stock Piling
Masyarakat menengah ke bawah rentan terhadap tekanan untuk membeli paket pendaftaran atau stok produk yang mahal. Tekanan ini muncul dengan dalih “meningkatkan level” atau “mencapai target” agar mendapat bonus lebih besar.- Beban Hutang: Untuk membeli stok tersebut, seringkali anggota harus berutang atau menggunakan uang simpanan pendidikan/kesehatan. Jika produk tidak terjual, stok tersebut menjadi barang mati (dead stock), dan keluarga terjerat utang baru.
- Pengeluaran Rutin: Banyak sistem MLM mengharuskan anggota membeli produk dalam jumlah tertentu setiap bulan (auto-ship atau tutup poin) agar tetap aktif dan mendapatkan komisi. Kewajiban ini, alih-alih menjadi penghasilan, malah menjadi pengeluaran rutin yang menggerus keuangan keluarga yang pas-pasan.
- Fokus pada Perekrutan (Money Game)
Opini publik yang paling merusak adalah ketika MLM bergeser menjadi Skema Piramida (Money Game) yang ilegal. Dalam skema ini, keuntungan utama bukan berasal dari penjualan produk kepada konsumen nyata, melainkan dari biaya pendaftaran anggota baru (downline).- Keluarga miskin yang bergabung seringkali tidak memiliki jaringan sosial yang luas atau daya beli tinggi. Mereka didorong untuk merekrut teman, tetangga, atau bahkan anggota keluarga sendiri, yang juga berasal dari kalangan ekonomi yang sama.
- Hasilnya adalah kerugian berantai. Anggota di level bawah menanggung kerugian karena harus membayar untuk bergabung, sementara sebagian kecil orang di puncak piramida yang merekrut mendapat keuntungan besar.
- Opini Negatif dan Kerugian Sosial
Kasus penipuan berkedok MLM yang marak menimbulkan trauma dan skeptisisme publik. Akibatnya, anggota MLM yang jujur menjual produk pun kesulitan karena citra buruk yang sudah melekat. Lebih jauh, tekanan untuk merekrut dapat merusak hubungan sosial dan kekeluargaan, yang bagi masyarakat menengah ke bawah, merupakan aset sosial yang sangat berharga.
Kesimpulan dan Sikap Kritis
Bisnis MLM bukanlah monster finansial, tetapi juga bukan solusi ajaib. Dampaknya terhadap perekonomian keluarga menengah ke bawah sangat ambivalen: ia menawarkan janji inklusivitas dan pelatihan, namun sekaligus membawa risiko tinggi terjerat utang dan skema yang merugikan.
Penting bagi masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk bersikap kritis dan realistis:
- Periksa Legalitas: Pastikan perusahaan terdaftar resmi di Kementerian Perdagangan dan menjadi anggota APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia).
- Kualitas Produk: Pastikan produk yang dijual bermanfaat, bermutu, dan memiliki harga wajar yang sesuai dengan pasar konvensional, bukan hanya kamuflase untuk biaya pendaftaran.
- Fokus Penjualan: Waspada jika penekanan utama perusahaan adalah perekrutan anggota baru dan bukan penjualan produk yang nyata.
MLM yang baik dapat menjadi peluang, namun tidak ada kekayaan yang datang secara instan dan mudah. Janji finansial yang fantastis seringkali berbanding lurus dengan risiko yang akan ditanggung, dan bagi keluarga menengah ke bawah, risiko tersebut terlalu mahal untuk diambil.
Tentang Penulis:
Faradiah Winandari, S.Sos., S.H., adalah seorang ASN yang sudah malang melintang di dunia MLM dan sekarang sedang menempuh pendidikan Pascasarjana Bidang Ilmu Manajemen Komunikasi di STIKOM – INTERSTUDI, Jakarta.


