Revisi UU Kejaksaan: Bukan Kebal Hukum, tapi Penguatan Demi Keadilan

Isu revisi Undang-Undang Kejaksaan kembali menjadi perbincangan publik. Di tengah sorotan terhadap penegakan hukum yang semakin kompleks, sebagian pihak melontarkan kekhawatiran bahwa revisi ini akan membuat jaksa seolah memiliki imunitas atau bahkan mengambil alih peran penyidik dari Kepolisian. Namun, Komisi Kejaksaan RI menegaskan: revisi UU Kejaksaan bukan untuk memperluas kekuasaan, melainkan memperkuat koordinasi dan akuntabilitas.

Dalam diskusi publik yang digelar di Solo, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun pasal dalam revisi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberi jaksa hak kekebalan hukum atau otoritas penyidikan sebagaimana dimiliki Kepolisian. Revisi ini justru mempertegas prinsip Integrated Criminal Justice System (ICJS), yang mendorong koordinasi dan supervisi antar penegak hukum—bukan dominasi satu pihak atas lainnya.

“Distribusi kewenangan dalam ICJS merupakan bentuk legitimasi prinsip koordinasi dan kerja sama antara jaksa dan polisi. Ini penting untuk meminimalisasi ego sektoral yang kerap menghambat proses penegakan hukum,” ujar Pujiyono.

Lebih jauh, kekhawatiran soal “izin Jaksa Agung” yang dianggap memberi hak istimewa kepada jaksa sebenarnya tidak berdasar. Pasal tersebut telah eksis sejak UU sebelumnya dan bukan merupakan tambahan baru dalam revisi. Justru, mekanisme tersebut dirancang untuk menjamin akuntabilitas internal serta mencegah intervensi tidak sah terhadap aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

Opini publik perlu diarahkan secara jernih: penguatan Kejaksaan bukanlah monopoli kewenangan, melainkan bagian dari reformasi struktural demi meningkatkan profesionalisme, mempercepat proses penegakan hukum, dan menjaga Kejaksaan dari risiko politisasi.

Penguatan ini telah terbukti membawa hasil. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kejaksaan menunjukkan ketangguhan dalam mengungkap berbagai kasus besar yang merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, revisi UU Kejaksaan semestinya dipahami sebagai pijakan untuk memperkuat lembaga, bukan memperkeruh persepsi.

Sejalan dengan itu, pegiat antikorupsi Alif Basuki menyebut bahwa polemik revisi UU seharusnya menjadi momentum untuk memperjelas dan memperkuat posisi strategis Kejaksaan dalam sistem hukum nasional. Keberhasilan demi keberhasilan harus diimbangi dengan kerangka hukum yang adaptif dan progresif.

Komisi Kejaksaan RI mendorong publik untuk membaca secara utuh substansi revisi UU Kejaksaan agar diskusi dan kritik tidak terjebak pada asumsi yang menyesatkan. Pada akhirnya, revisi ini bukan soal kekuasaan, tapi soal bagaimana kita bisa membangun sistem hukum yang lebih adil, akuntabel, dan melayani kepentingan masyarakat luas.

BERITA LAINNYA